PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Fatimiyah, atau al-Fāthimiyyūn
(الفاطميون) ialah penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam dari 909 hingga 1171. Negeri ini di
kuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang Syi'ah. Pemimpinnya
juga para imam Syiah, jadi
mereka memiliki kepentingan keagamaan terhadap Isma'iliyyun. Kadang dinasti ini
disebut pula dengan Bani Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti.
Fatimiyah
merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah al-
Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai
ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib.
Karena itu di namakan Dinasti Fatimiyah (Hoeve, 1994: 8).
Ubaidillah
dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur- Gubernur
Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar
Qairawan yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya
serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo
(al-Qohirah “yang berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997:
116).
PEMBAHASAN
A.
Sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah
Berdirinya
dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10 pada saat
kekuasaan dinasti Abasiyah di Baghdad mulai melemah dan kekuasaanya yang luas
terkoordinasi lagi dengan baik. Keadaan ini telah membuka peluang bagi
kemunculan dinasti kecil di daerah-daerah, terutama gubernur dan sultannya
memiliki tentara sendiri. Kondisi Abbasiyah yang lemah ini juga telah menyulut
timbulnya pemberontakan dari kelompok yang selama ini merasa tertindas serta
membuka kesempatan bagi kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk
melakukan kegiatan politik.[1]
Wilayah
kekuasaan dinasti Fatimiyah (909-1171M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan
suriah. Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali
bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.[2]
Menurut mereka Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu
Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan imam Syi’ah yang
ketujuh. Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, anggota sekte Syiah Ismailiyah
berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far
yang ditunjuk secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu
pada saat bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah
menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut
mereka, terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang
tampuk ke pemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, di angkatlah Musa Al-Khazim
sebagai imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[3]
Sekte Ismailiyah ini pada awalnya
tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datang lah Abdullah ibn Maimun yang
kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah ini.
Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamiya
di Syiria dan di sinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat
pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka secara rahasia
menyusup utusan-utusan ke berbagai
daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada
rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya
Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[4]
Pada tahun 874 M muncul lah seorang
pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian
menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi
ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik dan berapi-api ia berhasil mendapatkan
dukungan dari suku Barbar. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang
Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah
mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat
(Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi
pemimpin pergerakan.[5]
Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya.
Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah
al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika
dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di
Raqpodah daerah al-Qayrawan.
Ubaidillah dengan dukungan kaum
Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia,
Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya, saat
pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan yang kemudian
Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki Mesir
yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah“yang
berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116). Dalam
bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan ibukotanya dari
al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah Fatimiyah
sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya ke luar Mesir yang
mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah timbul
perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze yang
dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71).
Kelompok
Syi’ah Isma’iliyah mengosolidasikan gerakannya di Afrika Utara, dan pada tahun
909, Ubaidillah al-Mahdi berhasil memproklamasikan berdirinya khalifah
Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan
mengosolidasikan ke khalifahannya di Tunisia dengan bantuan Abdullah Asy-syi’i,
yaitu seorang yang penganut Isma’iliyah yang sangat berperan dalam mendirikan
daulah fatimiyah di Tunis.
B.
Para Khalifah Dinasti Fatimiyah
Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah
yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan Mesir tahun 909–1171 M,
selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut adalah :
1. ‘Ubaidillah
al Mahdi
2. Al–Qa’im
(924-946 M)
3. Al–Manshur
(946-953 M)
4. Al–Mu’izz
(953-975 M)
5. Al–‘Aziz
(975-996 M)
6. Al–Hakim
(996-1021 M)
7. Azh–Zhahir
(1021-1036 M)
8. Al–Musthansir
(1036-1094 M)
9. Al Musta’li
(1094-1101 M) (909-924 M)
10. Al–Amir
(1101-1131 M)
11. Al–Hafizh
(1131-1149 M)
12. Azh–Zhafir
(1149-1154 M)
13. Al–Faiz
(1154-1160 M)
14. Al–‘Adhid
(1160–1171 M)
Pekerjaan
Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka
adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali ibn Abi Thalib. Tugas
yang selanjutnya di perankan oleh Muiz yang mempunyai seorang Jendral bernama
Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam
zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir dapat direbut dalam masa
yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a. Mendirikan
Ibu Kota baru yaitu Kairo
b. Membina
suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c. Menyebarluaskan
Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.
Sesudah basis kekuasaan khalifah
Fatimiyah di Tunis kuat, maka khalifah Fatimiyah di bawah pimpinan al-Mu’iz
(khalifah keempat) dengan panglima nya Jauhar al-Katib al-Siqili dapat
menguasai Mesir pada tahun 969, ia mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah
(Kairo) yang berarti kota kemenangan dan kemudian menjadikan nya sebagai
ibukota khalifah Fatimiyah pada masa
selanjutnya.[6]
Setelah itu
baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/973 M memasuki kota
Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang baru. Tiga tahun
kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan
oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah Fatimiyah. Hakim memerintah
selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah yang berfungsi sebagai akademi yang
sejajar dengan lembaga di Cordova dan Baghdad. Dilengkapi dengan perpustakaan
yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku dengan berbagai
ilmu.[7]
C.
Peninggalan Bersejarah Dinasti Fatimiyah
Di antara peninggalan Dinasti
Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah
dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan
mengalami perkembangan pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a.
Universitas
Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan
oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari
al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam
pertama Syi’ah.
b.
Dar
al-Hikmah (Hall of Science), yang
terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.[8]
D.
Masa
Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Selama delapan dekade berikutnya, kekuasaan Dinasti Fatimiyah
terus menguat dan meluas. Sepanjang paruh pertama abad ke-11, wilayah
kekuasaannya mencakup Mesir, Afrika Utara (Ifriqiya), Suriah, Palestina, Yaman,
dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah. Sementara pada masa yang sama,
kekuasaan Dinasti Abbasiyah terus mengalami kemerosotan.
Dinasti Fatimiyah mengalami puncak kejayaan pada masa
khalifah al-Muiz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah Pada masa al-Aziz. Istananya
dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak 30.000
orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan
lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian,
perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa
itu.
Salah satu bukti kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah
adalah pekerja istana kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan,
10.000 pengurus kuda dan 8.000 pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu
tergambar dengan tidak terkuncinya toko perhiasan dan toko money changer
. Bahkan khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu kota yang dibangun
menggunakan batu bata dengan ketinggian lima atau enam lantai.[9]
Untuk melihat dan mengukur kejayaan
dinasti Fatimiyah yang telah berkuasa selama 262 tahun, berikut adalah beberapa
kontribusi mereka terhadap dunia Islam secara khusus dan seluruh dunia secara
umum:
a.
Agama
Dalam bidang agama, dinasti
Fatimiyah memberlakukan ajaran-ajaran Syiah dengan menganggap bahwa para imam
itu bersih dari dosa dan kesalahan, memberikan toleransi yang tak terbatas
kepada umat Kristen yang tidak pernah dirasakan oleh mereka sebelumnya.[10]
b.
Pendidikan
Pada masa
khalifah al-Aziz (976-996 M.), masjid al-Azhar ditingkatkan fungsinya dari
tempat ibadah semata menjadi universitas. Dan pada masa khalifah al-Hakim bi
Amrillah (996-1021 M.), di dirikanlah sebuah akademi yang diberi nama al-hikmah
(kampung kebijaksanaan) yang sederajat dengan lembaga-lembaga ilmu
pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain.
Di samping itu, dinasti Fatimiyah
juga mendirikan observatorium di bukit al-Mukattam untuk mempelajari astronomi,
astrologi, kedokteran, kimia dan sejenisnya.[11]
Ilmuan-ilmuan yang terkenal pada masa itu antara lain Ali ibn Yunus, salah
seorang astronom yang memperbaharui kalender, Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasyim
yang telah menulis 100 buah buku dimana salah satu karya monumentalnya adalah al-Manaz.
c.
Politik
Sistem pemerintahan Fatimiyah
bernadakan teokrasi karena menganggap jabatan khalifah ditentukan oleh nash
atau wasiat Nabi kepada Ali di Gadir Khummah. Hal itu di perkuat dengan
penamaan-penamaan khalifahnya seperti al-Muiz lidillah, al-Mustansir billah
dll. Namun jika melihat bahwa khalifah merupakan penunjukkan langsung, maka di sebut
juga monarki bahkan bisa disebut monarki absolut.[12]
Khalifah kemudian membawahi beberapa
menteri yang di rekrut dari orang yang mampu dan memiliki kecakapan tanpa
memandang sekte, suku bahkan agama.
d.
Militer
Peninggalan
dinasti Fatimiyah dalam peradaban Islam keberadaan tentara bayaran sebagai
penopang utama sebuah pemerintahan. Hal itu terjadi karena dinasti Fatimiyah
penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas.
Tentara bayaran tersebut di rekrut dari resimen kulit hitam atau Zawila yang di
beli dari pasar budak di Afrika dan dari orang Eropa Sakalaba atau yang kerap
di panggil dengan sebutan Bangsa Slav yang menjadi bangsa termiskin di Eropa
Timur.
e.
Ekonomi
Untuk meningkatkan ekonomi, dinasti
Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai lintas hasil pertanian agar
pendapatan negara dari sektor pajak bisa di tingkatkan, menambah aturan
baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup
bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir di gunakan dinar dengan kurs dirham yang
di tentukan. Hal itu di lakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari
kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.
Sementara pendapatan Negara di peroleh
dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat menjadi jalur
penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat pertukaran berbagai
komoditas antara Eropa dan Asia.[13]
f.
Kebudayaan dan Peradaban
Salah satu warisan dinasti Fatimiyah
yang eksis hingga saat ini adalah kota Cairo yang dibangun oleh Panglima Jawhar
al-Katib As-Siqilli pada tahun 969. Pada tahun 975-1075 M, Fustat merupakan ibu
kota Mesir dan menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami - sekaligus
salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah di gulingkan dinasti
Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir di pindahkan ke
Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah dan bertahan hingga tahun 868 M.
g.
Seni
Periode
Fatimiyah juga di kenal dengan keindahan produk tekstilnya, sedangkan produk
tenunan yang berkembang saat itu produk khas bangsa yang bergaya koptik Mesir,
kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah, seni keramik mengikuti
pola-pola Iran dan seni penjilidan buku yang begitu indah dan menjadi
penjilidan paling pertama dalam dunia Islam.
h.
Arsitektur
Salah satu bukti yang paling kuat
adalah berdirinya Masjid al-Azhar yang di bangun oleh Jendral Jawhar pada 972
M. Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan penggabungan gaya masjid Ibnu
Tulun di Mesir dan gaya Persia dengan menara yang menjadi ciri khas Irak Utara.[14]
E.
Masa
Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Dari beberapa khalifah yang memimpin
Dinasti Fatimiyah, dari periode yang pertama sampai yang ke enam mengalami
kemajuan dan sejak dipimpin dari khalifah periode ke tujuh sampai ke empat
belas mengalami kemunduran.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal
pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru
berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya di penuhi
dengan tindak kekerasan dan kekejaman.
Pada akhir abad 11 terjadi aksi
Salib I yang mengancam penguasa-penguasa Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah,
pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari
Aleppo dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The Crusaders II). Setelah
Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai terpecah-belah.
Para Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur) memegang
kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh
serangan Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh
yang menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari
Dinasti Ayyubiyah. Sekitar tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir.
Dinasti ini banyak mencapai kemajuan peradaban dan peningkatan ekonomi dan
penyebab kemunduran dan kehancuran Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di
antara para khalifahnya (Glasse,1996:43).
1.
Perjalanan Pemerintahan
Menurut As’adi (2001:77), dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah
Fathimiyyah
melalui
dua fase, yaitu :
a.
Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang
saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut
mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuh nya kepada
Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota
pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang di angkat menjadi
pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li
Dinillah. Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah
lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncul lah dua kekuatan besar
yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itu-lah Barbar kehilangan kedudukan dalam
pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang
pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang
dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut :
1)
Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah
pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika Utara, dimana propaganda
Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan
kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di
Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai penguasa bawahannya. Pada tahun 909 M, dia-lah yang memproklamasikan berdiri
nya khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu
oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahan nya di Tunisia.
Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan sebuah
kota yang baru dan di jadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang terletak di
pesisir pantai Tunisia. Selama menjalankan pemerintahan nya, ia telah berhasil
menghalau para pemberontak yang di pimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan
memperluas wilayah nya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut
Alexandria. Perlawanan juga datang dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok
yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar
(Hoeve, 1994:10).[15]
2)
Al–Qa’im ((924-946 M)
Setelah al–Mahdi meninggal, ia
diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar Al–Qa’im. Ia
meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan
mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria
tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan oleh Abu
Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali menaklukan
pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya Al–Qa’im
pada tahun 946 M, maka berakhir-lah kekuasaan nya dan di lanjutkan oleh
putranya Al–Manshur.
3)
Al–Manshur (946-953 M)
Perjuangan yang di lakukan oleh
ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang di bawah kekuasaan-nya. Ia
adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil menghentikan
pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya. Ia berhasil
menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu ekspansi
hingga ke seluruh Afrika, disana-lah ia membuat kota yang di beri nama
al–Mashuriyah.
4)
Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan yang telah dicapai
Al–Manshur di lanjutkan oleh putra-nya yang bernama Abu Tamim Ma’ad dengan
gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah, dengan
melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a.
Pembaharuan
dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b.
Pembangunan
ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan
pejabat pemerintahan lainnya.
c.
Toleransi
beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua
untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282). Setelah basis
kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun
969 M. Penguasaan ini di awali dengan di utusnya panglima Jauhar al–Katib
as–Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di
Ifriqiyah sebagai persiapan ke arah Timur.[16]
Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah
Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru
(al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71).
d.
Kairo
dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan
sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus,
1999: 536).[17]
Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah
akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal
di kalangan akademik (As’adi, 2001:115). Selama 23 tahun, masa kepemimpinan
al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M.
Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai
kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan
pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal
kemajuan Fathimiyyah.
5)
Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat
pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai membuatnya berhasil mengadakan
ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan
dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil di kuasainya, bahkan
saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah di Baghdad. Rupanya
ia mewarisi keahlian ayahnya di bidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde
Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun yang luasannya
banyak terbuat dari mutiara) dan masjid ayah-nya di kuburan Karava. Pada masa
inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.
6)
Al-Hakim (996-1021 M)
Al–Hakim adalah seorang penguasa
yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan tanpa alasan. Ini
disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi penguasa
menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernur-nya yang
tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasai-nya dengan penuh. Pada awal
pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum KRISTEN dan
Yahudi di perlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan
yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius
Syi’i yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena
Al–Hakim memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze
memandang Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72). Meskipun
kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan
bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun
tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan
dan Syiah.
b.
Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi,
selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase di mana
banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu
kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang di capai pada fase konsolidasi. Masa ini di sebut juga dengan “Ahdu
Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir,
sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan
politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri
ini menjadi sejumlah iqta’ yang di kuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat
militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538). Sebuah peperangan telah terjadi dalam
fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir
ini diawali dengan ekspansi yang di lakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke
Palestina dan Syiria. Perang Salib semula terbentuk dari serangan balik bangsa
Eropa yang bersifat umum terhadap kekuatan Muslim di wilayah Laut Tengah.
Terjadinya aksi Salib (Crusade) pertama pada akhir abad kelima, dan ini
lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di Syiria daripada Fathimiyyah, karena sebetulnya
saat itu Fathimiyyah tidak menguasai wilayah di Utara Asealon di Palestina. Melalui
jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak ke arah timur.[18]
Antara 1099- 1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan Tripoli, dan
mendirikan sebuah kerajaan Latin di Yerussalem. Dewan pendeta Latin menguasai
pemerintahan KRISTEN di kota suci ini, tetapi sekte-sekte KRISTEN timur tidak
disisihkan begitu saja. Respon Muslim terhadap perang Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut
cenderung pada upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium
Muslim. Daerah-daerah yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib
membuka pintu untuk mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam
lainnya. Namun secara bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat digambarkan
melalui tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum Fathimiyyah
ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din sudah
mulai berkuasa.
2.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Sesudah berakhirnya masa
pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai menurun. Kalaupun pada
masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidak-lah seperti apa yang
telah di capai oleh al-Aziz. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti
Fathimiyah adalah :
a.
Para
penguasa yang selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
b.
Adanya
pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas Sunni
c.
Terjadinya
persaingan perebutan wazir.
d.
Kondisi
al-‘Adhid (dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
Dalam kondisi khilafah yang sedang
lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer.
Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada Nur al-Din
dengan pasukan yang di pimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula ia
berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah
al Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi
untuk menguasai Mesir. Dengan di kalahkannya tentara Salib sekaligus di kuasainya
Mesir, maka berakhir-lah riwayat Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M
yang telah bertahan selama 262 tahun.
F. Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap
Peradaban Islam
Sumbangan
Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar sekali, baik dalam
sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Kemajuan yang terlihat pada
masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana diantaranya sebagai berkut:
a.
Bidang
Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang
imam atau khalifah, para imam bagi fatimi memang sesuatu yang di wajibkan, ini
merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali
bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini
diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari
keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus di penuhi dalam
pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam
sebelumnya.[19]
Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau
hanya di ketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam di dinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di
bumi, meraka menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat,
dan orang paling dalam ilmu nya.
Selanjut nya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk
wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini di bentuk pada masa Aziz
billah pada bulan Ramadhan tahun
367H/979 M.[20]
Di samping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya
diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan
barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak)
dan lain-lainnya.
Bentuk
pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang di anggap
sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaan nya Khalifah adalah
kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat
tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri
Wazir kekhalifahan di bagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan
Sipil. Yang di bidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara,
perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut
keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a. Qadi, yang
berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b. Ketua
dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c. Inspektur
pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d. Bendaharawan
Negara, yang membidangi Baitul Mal
e. Wakil kepala
urusan rumah tangga Khalifah
f. Qori, yang
membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja di butuhkan.
Selain dari penjabat di istana ini
ada beberapa pejabat lokal yang di angkat oleh Khalifah untuk mengelola bagian
wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan di bagi ke dalam tiga
kelompok:
1. Amir-amir
yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
2. Para Obsir
Jaga
3. Resimen yang
bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.
b.
Pemikiran
dan Filsafat
Dalam
menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat
Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan
ahli-ahli filsafat lainnya.[21]
Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafat-nya
kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok
inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah di kembangkan oleh
golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada
masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1. Abu Hatim
Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam
masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200
halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran
dalam agama.
2. Abu Abdillah
An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak
membahas masalah al-Ushul al-Mazhab
al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i,
Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam
dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3. Abu Ya’qup
as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4. Abu Hanifah
An-Nu’man Al-Magribi
5. Ja’far Ibnu
Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin
Al-Qirmani.
c.
Pendidikan
dan Iptek
Seorang
ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia
berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar per
bulan-nya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang
bernama Muhammad Attamimi. Di samping Attamimi ada juga seorang ahli sejarah
yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang
ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil
membangun masjid Al Azhar.
Kemajuan
keilmuan yang paling fundamental pada masa Fatamiyah adalah keberhasilan-nya
membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang
di bangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu
astronomi banyak di kembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus
kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus
karya nya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah di hasilkan.
Pada masa
pemerintahan Al Hakim di dirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang
sama yang di dirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat
perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated
Al-Qur’an ini merupakan bukti kontribusi
Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d.
Ekonomi dan
Perdagangan
Mesir
mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli Irak dan
daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina dengan
baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu
festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana Khalifah
yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari 1.200 pelayan dan pengawal juga
terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan Khalifah
yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang
dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap tempat di kota itu. Pasar
yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besar nya dan di penuhi berbagai produk
dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu
berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
Di segi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan,
keberhasilan pertanian di Mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua
sektor
1. Daerah
pinggiran-pinggiran sungai Nil
2. Tempat-tempat
yang telah di tentukan pemerintah untuk di jadikan lahan pertanian.
Sungai Nil
merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir,
kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa
kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun
untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil
ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan
kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin
gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[22]
Mereka
membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
1. Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran
dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas,
pohon rami.
2. Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai
surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat.
Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan
lain-lain.[23]
Dibidang perdagangan mereka
melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa,
dan daerah-daerah sekitar laut tengah. Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota Fustat sebagai kota
perdagangan, dari sini semua barang akan di kirim baik dari dalam maupun dari
luar Mesir.
e.
Sosial
Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah memasuki Mesir, penduduk setempat ada
yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian,
saling menghormati antara satu dengan yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi
pertengkaran antara suku, maupun agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang
tinggi sesama mereka.
f.
Pemahaman
Agama
Sesuai
dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari
sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin
mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan
berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti
oleh para penduduk, mereka bebas beragama
sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini dilakukan supaya mereka
selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdiri nya dinasti Fatimiyah di
negeri para Nabi ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti
Fatimiyah adalah dinasti yang di bangun atas dasar protes politik terhadap
kekuasaan pada saat itu dengan legitimasi agama yaitu tuntutan Imamah
sebagai pengganti Rasulallah SAW. Karena sebuah hadith al-aimmah
min quraysh dengan keyakinan bahwa Ali ibn Abi Talib (suami Fatimah
al-Zahro putri Rasulallah) dan keturunannya sebagai pewaris kekhalifahan / Nabi
Dinasti Fatimiyah
adalah satu-satunya dinasti Shi’ah dalam Islam yang eksis selama kurang lebih
dua setengah abad dan bisa berjaya melampaui capaian wilayah kekuasaan
kerajaan-kerajaan Islam terdahulu, dan telah memberi banyak sumbangan peradaban
terhadap dunia Islam, khususnya Mesir, karena pada masa Dinasti Fatimiyah ini,
Mesir mengalami tingkat kemakmuran dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak
dan Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam kala itu.
Dalam segala aspek
kehidupan secara umum, Dinasti Fatimiyah memberikan kelonggaran kepada semua
orang untuk melakukan kegiatan sosial, keagamaan dan bahkan politik, meskipun
disisi lain dinasti ini mempunyai misi menanamkan paham keagamaan, yaitu Shi’ah
sekte Isma’iliyah.
Keberadaan dinasti
Fatimiyah ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban
Islam, mulai dari bidang politik pemerintahan, pemikiran dan filsafat,
pendidikan dan iptek, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, pemahaman
agama dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin, Prof.Dr.H. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Kencana, 2011
Amin, Samsul Munir, Drs. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009
Sayyid, Aiman Fuad, Dr. (1992) Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir
Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah.
Ichtiar Baru Van Hoave, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : 1994
Haiti, Philip K. History of The Arab. (London: The Macmilland Press Ltd, 1974)
Ahmad, Zainal Abidin. Sejarah Islam dan Ummatnya. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979)
Amin, Ahmad. Dhuhal al-Islam. (Kairo: Lajnah Ta’wa
al Nasyr)
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti
Islam. Bandung: Mizan, 1980
[1]
Sejarah Pendidikan Islam, Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M.A. Jakarta. Kencana 2011,
Hlm 195.
[2]
Sejarah Peradaban Islam, Drs.Samsul
Munir Amin, M.A
[3]
Dr. Aiman Fuad Sayyid. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah
lil-Bananiyah. Hlm 30
[4]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h 245
[5]
Philip K. Haiti, History of The Arab,
(London: The Macmilland Press Ltd, 1974). h. 618
[6]
Sejarah Pendidikan Islam, Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M.A. Jakarta. Kencana 2011,
Hlm 196
[7]
Zainal Abidin
Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hlm. 109
[8] Sumber
: http://islamwiki.blogspot.com
[9]
Ibid, 798
[10]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, op.cit., h. 791
[11]
M Abdul Karim, op.cit., h. 201
[12]
Ibid, h. 194.
[13]
Ibid, h. 200.
[14]
http://www.Republikaonline.com,
[15]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h 10
[16]
C.E.Bosworth. 1980. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan. Hlm 71
[17]
C.E.Bosworth. 1980. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan.
[18]
C.E.Bosworth. 1980. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan
[20]
Ibid
[21]
Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, (Kairo:
Lajnah Ta’wa al Nasyr), h. 188
[22]
Dr. Aiman Fuad Sayyid. op. cit. h 293
[23]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar