Jumat, 26 September 2014

A Friend ;)


 



orang bijak  pernah bilang ,
teman itu adalah HARTA .. tanpa TEMAN , maka dia adalah orang yang miskin ... ???
#kataku ,
tapi , tak berarti kita harus menjaganya seperti satpam ..
karena itu akan melelahkan

karena seharusnya teman saling menjaga ,
tak perlu dipeluk erat-erat
cukup dirangkul ketika dia butuh

tak perlu dipandangi setiap detik ..
cukup denggan ketika dia bercerita ,

tak perlu mengiringi setiap langkahnya
cukup dipapah ketika dia terjatuh
tak perlu berusaha membuatnya TERTAWA .
karena dia akan bahagia bersama muu :)

tertawa bersama menangis bersama , tak
berarti selalu bersama ..
karena bagi teman pelukan hangat, perhatian, kepercayaan, dan penghargaan
itu harus lebih dari cukup
karena teman sejati itu ada dihatii

dan BUKAN DIMANA-MANA :*

Dinasti Fatimiyah 909-1171



PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Fatimiyah, atau al-Fāthimiyyūn (الفاطميون) ialah penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam dari 909 hingga 1171. Negeri ini di kuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang Syi'ah. Pemimpinnya juga para imam Syiah, jadi mereka memiliki kepentingan keagamaan terhadap Isma'iliyyun. Kadang dinasti ini disebut pula dengan Bani Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti.
Fatimiyah merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah al- Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Karena itu di namakan Dinasti Fatimiyah (Hoeve, 1994: 8).
Ubaidillah dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah “yang berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116).



PEMBAHASAN

A.    Sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyah
Berdirinya dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10 pada saat kekuasaan dinasti Abasiyah di Baghdad mulai melemah dan kekuasaanya yang luas terkoordinasi lagi dengan baik. Keadaan ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti kecil di daerah-daerah, terutama gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi Abbasiyah yang lemah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok yang selama ini merasa tertindas serta membuka kesempatan bagi kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.[1]
Wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah (909-1171M) meliputi Afrika Utara, Mesir, dan suriah. Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.[2] Menurut mereka Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan imam Syi’ah yang ketujuh. Setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far yang ditunjuk secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu pada saat bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka, terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk ke pemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, di angkatlah Musa Al-Khazim sebagai imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[3]
            Sekte Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datang lah Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan di sinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka secara rahasia menyusup utusan-utusan  ke berbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[4]
            Pada tahun 874 M muncul lah seorang pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik  dan berapi-api ia berhasil mendapatkan dukungan dari suku Barbar. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat (Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi pemimpin pergerakan.[5] Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa  Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya. Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah daerah al-Qayrawan.
Ubaidillah dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah“yang berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116). Dalam bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan ibukotanya dari al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah Fatimiyah sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya ke luar Mesir yang mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah timbul perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze yang dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71).
Kelompok Syi’ah Isma’iliyah mengosolidasikan gerakannya di Afrika Utara, dan pada tahun 909, Ubaidillah al-Mahdi berhasil memproklamasikan berdirinya khalifah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mengosolidasikan ke khalifahannya di Tunisia dengan bantuan Abdullah Asy-syi’i, yaitu seorang yang penganut Isma’iliyah yang sangat berperan dalam mendirikan daulah fatimiyah di Tunis.




B.     Para Khalifah Dinasti Fatimiyah
Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut adalah :
1.      ‘Ubaidillah al Mahdi
2.      Al–Qa’im (924-946 M)
3.      Al–Manshur (946-953 M)
4.      Al–Mu’izz (953-975 M)
5.      Al–‘Aziz (975-996 M)
6.      Al–Hakim (996-1021 M)
7.      Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8.      Al–Musthansir (1036-1094 M)
9.      Al Musta’li (1094-1101 M) (909-924 M)
10.  Al–Amir (1101-1131 M)
11.  Al–Hafizh (1131-1149 M)
12.  Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13.  Al–Faiz (1154-1160 M)
14.  Al–‘Adhid (1160–1171 M)
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya di perankan oleh Muiz yang mempunyai seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:

a.       Mendirikan Ibu Kota baru yaitu Kairo
b.      Membina suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c.       Menyebarluaskan Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.
Sesudah basis kekuasaan khalifah Fatimiyah di Tunis kuat, maka khalifah Fatimiyah di bawah pimpinan al-Mu’iz (khalifah keempat) dengan panglima nya Jauhar al-Katib al-Siqili dapat menguasai Mesir pada tahun 969, ia mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan dan kemudian menjadikan nya sebagai ibukota  khalifah Fatimiyah pada masa selanjutnya.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Baghdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku dengan berbagai ilmu.[7]

C.    Peninggalan Bersejarah Dinasti Fatimiyah
Di antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah
dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :

a.       Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
b.      Dar al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.[8]

D.    Masa Kejayaan Dinasti Fatimiyah

Selama delapan dekade berikutnya, kekuasaan Dinasti Fatimiyah terus menguat dan meluas. Sepanjang paruh pertama abad ke-11, wilayah kekuasaannya mencakup Mesir, Afrika Utara (Ifriqiya), Suriah, Palestina, Yaman, dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah. Sementara pada masa yang sama, kekuasaan Dinasti Abbasiyah terus mengalami kemerosotan.
Dinasti Fatimiyah mengalami puncak kejayaan pada masa khalifah al-Muiz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah Pada masa al-Aziz. Istananya dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak 30.000 orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa itu. 
Salah satu bukti kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah adalah pekerja istana kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000 pengurus kuda dan 8.000 pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu tergambar dengan tidak terkuncinya toko perhiasan dan toko money changer . Bahkan khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu kota yang dibangun menggunakan batu bata dengan ketinggian lima atau enam lantai.[9]       
Untuk melihat dan mengukur kejayaan dinasti Fatimiyah yang telah berkuasa selama 262 tahun, berikut adalah beberapa kontribusi mereka terhadap dunia Islam secara khusus dan seluruh dunia secara umum:

a.       Agama
Dalam bidang agama, dinasti Fatimiyah memberlakukan ajaran-ajaran Syiah dengan menganggap bahwa para imam itu bersih dari dosa dan kesalahan, memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen yang tidak pernah dirasakan oleh mereka sebelumnya.[10]  

b.      Pendidikan
Pada masa khalifah al-Aziz (976-996 M.), masjid al-Azhar ditingkatkan fungsinya dari tempat ibadah semata menjadi universitas. Dan pada masa khalifah al-Hakim bi Amrillah (996-1021 M.), di dirikanlah sebuah akademi yang diberi nama al-hikmah (kampung kebijaksanaan) yang sederajat dengan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain. 
Di samping itu, dinasti Fatimiyah juga mendirikan observatorium di bukit al-Mukattam untuk mempelajari astronomi, astrologi, kedokteran, kimia dan sejenisnya.[11] Ilmuan-ilmuan yang terkenal pada masa itu antara lain Ali ibn Yunus, salah seorang astronom yang memperbaharui kalender, Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasyim yang telah menulis 100 buah buku dimana salah satu karya monumentalnya adalah al-Manaz.
 
c.       Politik
Sistem pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menganggap jabatan khalifah ditentukan oleh nash atau wasiat Nabi kepada Ali di Gadir Khummah. Hal itu di perkuat dengan penamaan-penamaan khalifahnya seperti al-Muiz lidillah, al-Mustansir billah dll. Namun jika melihat bahwa khalifah merupakan penunjukkan langsung, maka di sebut juga monarki bahkan bisa disebut monarki absolut.[12]
Khalifah kemudian membawahi beberapa menteri yang di rekrut dari orang yang mampu dan memiliki kecakapan tanpa memandang sekte, suku bahkan agama.   

d.       Militer
Peninggalan dinasti Fatimiyah dalam peradaban Islam keberadaan tentara bayaran sebagai penopang utama sebuah pemerintahan. Hal itu terjadi karena dinasti Fatimiyah penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas. Tentara bayaran tersebut di rekrut dari resimen kulit hitam atau Zawila yang di beli dari pasar budak di Afrika dan dari orang Eropa Sakalaba atau yang kerap di panggil dengan sebutan Bangsa Slav yang menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur.
e.       Ekonomi
Untuk meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai lintas hasil pertanian agar pendapatan negara  dari sektor pajak bisa di tingkatkan, menambah aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir di gunakan dinar dengan kurs dirham yang di tentukan. Hal itu di lakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.
Sementara pendapatan Negara di peroleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia.[13]

f.       Kebudayaan dan Peradaban
Salah satu warisan dinasti Fatimiyah yang eksis hingga saat ini adalah kota Cairo yang dibangun oleh Panglima Jawhar al-Katib As-Siqilli pada tahun 969. Pada tahun 975-1075 M, Fustat merupakan ibu kota Mesir dan menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah di gulingkan dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir di pindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah dan bertahan hingga tahun 868 M.





g.      Seni
Periode Fatimiyah juga di kenal dengan keindahan produk tekstilnya, sedangkan produk tenunan yang berkembang saat itu produk khas bangsa yang bergaya koptik Mesir, kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah, seni keramik mengikuti pola-pola Iran dan seni penjilidan buku yang begitu indah dan menjadi penjilidan paling pertama dalam dunia Islam.

h.      Arsitektur
Salah satu bukti yang paling kuat adalah berdirinya Masjid al-Azhar yang di bangun oleh Jendral Jawhar pada 972 M. Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan penggabungan gaya masjid Ibnu Tulun di Mesir dan gaya Persia dengan menara yang menjadi ciri khas Irak Utara.[14]

E.     Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Dari beberapa khalifah yang memimpin Dinasti Fatimiyah, dari periode yang pertama sampai yang ke enam mengalami kemajuan dan sejak dipimpin dari khalifah periode ke tujuh sampai ke empat belas mengalami kemunduran.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya di penuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman.
Pada akhir abad 11 terjadi aksi Salib I yang mengancam penguasa-penguasa Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah, pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The Crusaders II). Setelah Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai terpecah-belah. Para Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur) memegang kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh serangan Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh yang menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari Dinasti Ayyubiyah. Sekitar tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai kemajuan peradaban dan peningkatan ekonomi dan penyebab kemunduran dan kehancuran Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di antara para khalifahnya (Glasse,1996:43).

1.      Perjalanan Pemerintahan
Menurut As’adi (2001:77), dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah
melalui dua fase, yaitu :

a.      Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuh nya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang di angkat menjadi pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah. Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncul lah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itu-lah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut :

1)      Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai penguasa bawahannya. Pada tahun 909 M, dia-lah yang memproklamasikan berdiri nya khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahan nya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan di jadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang terletak di pesisir pantai Tunisia. Selama menjalankan pemerintahan nya, ia telah berhasil menghalau para pemberontak yang di pimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayah nya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga datang dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).[15]


2)      Al–Qa’im ((924-946 M)
Setelah al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhir-lah kekuasaan nya dan di lanjutkan oleh putranya Al–Manshur.

3)      Al–Manshur (946-953 M)
Perjuangan yang di lakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang di bawah kekuasaan-nya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya. Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disana-lah ia membuat kota yang di beri nama al–Mashuriyah.

4)      Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur di lanjutkan oleh putra-nya yang bernama Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a.       Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b.      Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.
c.       Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282). Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun 969 M. Penguasaan ini di awali dengan di utusnya panglima Jauhar al–Katib as–Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai persiapan ke arah Timur.[16] Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71).
d.      Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus, 1999: 536).[17] Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal di kalangan akademik (As’adi, 2001:115). Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal kemajuan Fathimiyyah.

5)       Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil di kuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah di Baghdad. Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya di bidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun yang luasannya banyak terbuat dari mutiara) dan masjid ayah-nya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.

6)      Al-Hakim (996-1021 M)
Al–Hakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernur-nya yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasai-nya dengan penuh. Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum KRISTEN dan Yahudi di perlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72). Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan dan Syiah.

b.      Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase di mana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang di capai pada fase  konsolidasi. Masa ini di sebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang di kuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538). Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang di lakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria. Perang Salib semula terbentuk dari serangan balik bangsa Eropa yang bersifat umum terhadap kekuatan Muslim di wilayah Laut Tengah. Terjadinya aksi Salib (Crusade) pertama pada akhir abad kelima, dan ini lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di Syiria daripada Fathimiyyah, karena sebetulnya saat itu Fathimiyyah tidak menguasai wilayah di Utara Asealon di Palestina. Melalui jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak ke arah timur.[18] Antara 1099- 1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan Tripoli, dan mendirikan sebuah kerajaan Latin di Yerussalem. Dewan pendeta Latin menguasai pemerintahan KRISTEN di kota suci ini, tetapi sekte-sekte KRISTEN timur tidak disisihkan begitu saja. Respon Muslim terhadap perang  Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut cenderung pada upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium Muslim. Daerah-daerah yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib membuka pintu untuk mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam lainnya. Namun secara bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat digambarkan melalui tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum Fathimiyyah ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din sudah mulai berkuasa.

2.       Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai menurun. Kalaupun pada masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidak-lah seperti apa yang telah di capai oleh al-Aziz. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Fathimiyah adalah :
a.       Para penguasa yang selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
b.      Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas Sunni
c.       Terjadinya persaingan perebutan wazir.
d.      Kondisi al-‘Adhid (dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.

Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada Nur al-Din dengan pasukan yang di pimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula ia berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah al Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi untuk menguasai Mesir. Dengan di kalahkannya tentara Salib sekaligus di kuasainya Mesir, maka berakhir-lah riwayat Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262 tahun.

F.     Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam

Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana diantaranya sebagai berkut:
a.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimi memang sesuatu yang di wajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus di penuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[19]
Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya di ketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam di dinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmu nya.
Selanjut nya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini di bentuk pada masa Aziz billah  pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[20]
Di samping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang di anggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaan nya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan di bagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang di bidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a.       Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b.      Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.       Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d.      Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.       Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.       Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja di butuhkan.
Selain dari penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang di angkat oleh Khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan di bagi ke dalam tiga kelompok:
1.      Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
2.      Para Obsir Jaga
3.      Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.


b.      Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[21] Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafat-nya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah di kembangkan oleh golongan Mu’tazilah.

Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1.      Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2.      Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3.      Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4.      Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5.      Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
      6.      Hamiduddin Al-Qirmani.

c.       Pendidikan dan Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar per bulan-nya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Di samping Attamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil membangun masjid Al Azhar.
Kemajuan keilmuan yang paling fundamental pada masa Fatamiyah adalah keberhasilan-nya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang di bangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak di kembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karya nya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah di hasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim di dirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang di dirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an  ini merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.

d.      Ekonomi dan Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari 1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besar nya dan di penuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
Di segi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di Mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor 
1.      Daerah pinggiran-pinggiran sungai Nil
2.      Tempat-tempat yang telah di tentukan pemerintah untuk di jadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[22]



Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
1.      Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2.      Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[23]
Dibidang perdagangan mereka melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa, dan daerah-daerah sekitar laut tengah. Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan di kirim baik dari dalam maupun dari luar Mesir.

e.       Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu dengan yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku, maupun agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.

f.       Pemahaman Agama
Sesuai dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti oleh para penduduk, mereka bebas beragama  sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdiri nya dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.







PENUTUP

Kesimpulan

Dinasti Fatimiyah adalah dinasti yang di bangun atas dasar protes politik terhadap kekuasaan pada saat itu dengan legitimasi agama yaitu tuntutan Imamah sebagai pengganti Rasulallah SAW. Karena sebuah hadith al-aimmah min quraysh dengan keyakinan bahwa Ali ibn Abi Talib (suami Fatimah al-Zahro putri Rasulallah) dan keturunannya sebagai pewaris kekhalifahan / Nabi
Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya dinasti Shi’ah dalam Islam yang eksis selama kurang lebih dua setengah abad dan bisa berjaya melampaui capaian wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam terdahulu, dan telah memberi banyak sumbangan peradaban terhadap dunia Islam, khususnya Mesir, karena pada masa Dinasti Fatimiyah ini, Mesir mengalami tingkat kemakmuran dan vitalitas kultural yang mengungguli Irak dan Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam kala itu.
Dalam segala aspek kehidupan secara umum, Dinasti Fatimiyah memberikan kelonggaran kepada semua orang untuk melakukan kegiatan sosial, keagamaan dan bahkan politik, meskipun disisi lain dinasti ini mempunyai misi menanamkan paham keagamaan, yaitu Shi’ah sekte Isma’iliyah.
Keberadaan dinasti Fatimiyah ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban Islam, mulai dari bidang politik pemerintahan, pemikiran dan filsafat, pendidikan dan iptek, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, pemahaman agama dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA


Nata, Abuddin, Prof.Dr.H. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2011
Amin, Samsul Munir, Drs. Sejarah Peradaban Islam.  Jakarta: Amzah, 2009
Sayyid, Aiman Fuad, Dr. (1992) Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah.
Ichtiar Baru Van Hoave, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : 1994
Haiti, Philip K. History of The Arab. (London: The Macmilland Press Ltd, 1974)
Ahmad, Zainal Abidin. Sejarah Islam dan Ummatnya. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Amin, Ahmad. Dhuhal al-Islam. (Kairo: Lajnah Ta’wa al  Nasyr)
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1980


[1] Sejarah Pendidikan Islam, Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M.A. Jakarta. Kencana 2011, Hlm 195.
[2] Sejarah Peradaban Islam,  Drs.Samsul Munir Amin, M.A
[3] Dr. Aiman Fuad Sayyid. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah. Hlm 30
[4] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h 245
[5] Philip K. Haiti, History of The Arab, (London: The Macmilland Press Ltd, 1974). h. 618
[6] Sejarah Pendidikan Islam, Prof.Dr.H.Abuddin Nata, M.A. Jakarta. Kencana 2011, Hlm 196
[7] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 109
[8] Sumber : http://islamwiki.blogspot.com
[9] Ibid, 798
[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs, op.cit., h. 791
[11] M Abdul Karim, op.cit., h. 201
[12] Ibid, h. 194.
[13] Ibid, h. 200.
[15] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoave, 1994 ), h 10
[16] C.E.Bosworth. 1980. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan. Hlm 71
[17] C.E.Bosworth. 1980. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan.
[18] C.E.Bosworth. 1980. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan
[19] Dr. Aiman Fuad  Sayyid. op. cit  h 249
[20] Ibid
[21] Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, (Kairo: Lajnah Ta’wa al  Nasyr), h. 188
[22] Dr. Aiman Fuad Sayyid. op. cit. h 293
[23] Ibid